Minggu, 13 November 2011

Mendobrak Kediktatoran KPUD

Putusan Mahkamah Agung RI yang diputuskan pada 19 Desember 2007, dalam sengketa Pilkada Sulawesi Selatan (Sulsel) yang mengabulkan permohonan keberatan, dan memerintahkan kepada KPU Daerah Sulsel untuk menyelenggarakan pilkada ulang di daerah-daerah Gowa, Bone, Bantaeng, dan Tana Toraja, telah memicu pendapat pro dan kontra. Satu pihak menilai putusan Mahkamah Agung itu melebihi wewenang, membingungkan, serta tak ada dasar hukumnya, sedangkan pihak lain yang diuntungkan meminta semua pihak menghormati putusan hukum dari institusi tertinggi dalam sistem penegakan hukum di Republik ini tersebut.

Bila ditilik dari sudut pelaksanaan pilkada, yang sejak diundangkannya Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menentukan  bahwa pelaksanaan pemilihan kepala dan wakil kepala daerah –baik di tingkat propinsi maupun kota/kabupaten– harus dilaksanakan secara langsung, sebenarnya Pemerintah Pusat telah memberikan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat di daerah. Pemerintah Pusat menilai, untuk menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, tidak  bisa tidak, masyarakat harus dilibatkan secara penuh dalam sistem pemerintahan di daerah. Salah satunya dengan pelaksanaan pilkada langsung.
Namun, apakah disebabkan rendahnya tingkat pendidikan ataukah masih minimnya tingkat kesadaran berdemokrasi rakyat Indonesia (belum ada data penelitian tentang hal itu), hampir setiap pelaksanaan pilkada di negeri ini, selalu dapat dipastikan memicu kericuhan, pengrusakan, selain sengketa hukum di muka pengadilan.
Adanya keniscayaan itulah yang mendorong Penulis untuk menulis buku ini. Sebagai praktisi hukum yang memiliki pengalaman beperkara dalam sengketa pilkada, buku ini disusun untuk memberikan pemahaman tentang teknik praktika beperkara dalam sengketa hasil pelaksanaan pilkada. Karena itulah buku ini sangat praktis bagi pihak-pihak yang terlibat langsung dalam pelaksanaan pilkada langsung, seperti anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Daerah, Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) Daerah, Tim Pemenangan maupun Tim Advokasi Pasangan Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, kalangan pengurus partai pendukung, maupun kalangan pengawas pilkada independen dari kelompok masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Dengan keberadaan buku ini diharapkan –selain untuk ikut memberdayakan (empowerment) kemampuan hukum masyarakat– sekaligus juga ditujukan untuk membangun jiwa demokratis dan menghormati segala putusan hukum dari sistem peradilan (baca: pengadilan), sebagai wujud penghormatan terhadap Republik ini sebagai negara hukum (rechtstaat) dan bukan negara kekuasaan (machtstaat).
Demikian kata pengantar ini. Kritik dan saran yang konstruktif, sangat Penulis harapan. Terima kasih


.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar