Putusan Mahkamah Agung RI yang
diputuskan pada 19 Desember 2007, dalam sengketa Pilkada Sulawesi Selatan
(Sulsel) yang mengabulkan permohonan keberatan, dan memerintahkan kepada KPU
Daerah Sulsel untuk menyelenggarakan pilkada ulang di daerah-daerah Gowa, Bone,
Bantaeng, dan Tana Toraja, telah memicu pendapat pro dan kontra. Satu pihak
menilai putusan Mahkamah Agung itu melebihi wewenang, membingungkan, serta tak
ada dasar hukumnya, sedangkan pihak lain yang diuntungkan meminta semua pihak
menghormati putusan hukum dari institusi tertinggi dalam sistem penegakan hukum
di Republik ini tersebut.
Bila
ditilik dari sudut pelaksanaan pilkada, yang sejak diundangkannya Undang-undang
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, menentukan bahwa pelaksanaan pemilihan kepala dan wakil
kepala daerah –baik di tingkat propinsi maupun kota/kabupaten– harus
dilaksanakan secara langsung, sebenarnya Pemerintah Pusat telah memberikan
penghormatan terhadap hak-hak masyarakat di daerah. Pemerintah Pusat menilai,
untuk menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi, tidak bisa tidak, masyarakat harus dilibatkan
secara penuh dalam sistem pemerintahan di daerah. Salah satunya dengan
pelaksanaan pilkada langsung.
Namun,
apakah disebabkan rendahnya tingkat pendidikan ataukah masih minimnya tingkat
kesadaran berdemokrasi rakyat Indonesia (belum ada data penelitian tentang hal
itu), hampir setiap pelaksanaan pilkada di negeri ini, selalu dapat dipastikan
memicu kericuhan, pengrusakan, selain sengketa hukum di muka pengadilan.
Adanya
keniscayaan itulah yang mendorong Penulis untuk menulis buku ini. Sebagai
praktisi hukum yang memiliki pengalaman beperkara dalam sengketa pilkada, buku
ini disusun untuk memberikan pemahaman tentang teknik praktika beperkara dalam
sengketa hasil pelaksanaan pilkada. Karena itulah buku ini sangat praktis bagi
pihak-pihak yang terlibat langsung dalam pelaksanaan pilkada langsung, seperti
anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Daerah, Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu)
Daerah, Tim Pemenangan maupun Tim Advokasi Pasangan Calon Kepala Daerah dan
Wakil Kepala Daerah, kalangan pengurus partai pendukung, maupun kalangan
pengawas pilkada independen dari kelompok masyarakat dan Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM).
Dengan
keberadaan buku ini diharapkan –selain untuk ikut memberdayakan (empowerment) kemampuan hukum masyarakat–
sekaligus juga ditujukan untuk membangun jiwa demokratis dan menghormati segala
putusan hukum dari sistem peradilan (baca: pengadilan), sebagai wujud
penghormatan terhadap Republik ini sebagai negara hukum (rechtstaat) dan bukan negara kekuasaan (machtstaat).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar